Aku Tak Pernah Bisa Bebas Dari Cintanya Yang Begitu Tulus Bag. 2 (Habis)


Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terpaku, tak menyangka sedikitpun, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini.


Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami berempat. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.

Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.
Istriku, Faridah tersayang,
Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. Maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak kita. Mungkin inilah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.
Seandainya aku bisa, ingin rasanya mendampingimu selamanya. Namun aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin kamu susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan, tetapi aku berharap kamu bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak kita. Lakukanlah yang terbaik untuk mereka, ya sayang.
Janganlah menangis, sayangku, Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan jika selama ini aku menyusahkanmu dan semoga Allah memberimu jodoh yang jauh lebih baik dariku.
Teruntuk Zahra dan Wafiq, kedua putri tercintaku. Maafkan karena Abi tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik, Fikri, engkaulah ksatria pelindungku. Jagalah Umi dan kedua adikmu. Jangan jadi anak yang bandel, selalu ingat sholat dimanapun kalian berada, Abi di sana akan melihat kalian.
Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note.

Notaris memberitahuku bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa tabungan dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil warisan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.

Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.

Kini, putra-putriku berusia dua puluh tahun. dan aku berusia empat puluh tiga tahun. Tiga hari lagi salah satu putriku, Zahra, akan menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putriku bertanya, “Umi, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Zahra kan gak bisa masak, gak bisa nyuci, gimana ya Mi?”

Aku merangkulnya sambil berkata: “Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya, Nak. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta dan kasih sayang.”

Putriku menatapku, “seperti cinta Umi untuk Abi? Cinta itukah yang membuat Umi tetap setia pada Abi sampai sekarang?”

Aku menggeleng, “Bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti Abi mencintai Umi dulu, seperti Abi mencintai kalian bertiga. Umi setia pada Abi karena cinta Abi yang begitu besar pada Umi dan kalian bertiga.”

Aku mungkin belum beruntung karena tak sempat menunjukkan pada kalian cintaku pada ayahmu. Aku terbebas darinya karena kematian yang memisahkannya, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb (Hazimah Nurul Wafiq)