Ketika Seorang Muslimah Melamar Duluan, Siapa Takut?


"Malu ah, kayak kita nggak punya harga diri aja," jawab seorang muslimah ketika diberi saran oleh salah seorang ustadzah agar ia melamar seorang ikhwan shalih untuk menjadi pendamping hidupnya. Sang ustadzah menyarankan demikian pasalnya sang muslimah mengaku telah siap menikah dan 'menaruh simpati' dengan seorang ikhwan yang ia ketahui track recordnya adalah seorang shalih lagi komitmen terhadap amanah dakwah.

Dalam pandangan sang ustadzah, apa masalahnya seorang akhwat melamar ikhwan untuk dijadikan suami. Toh akhwat tersebut telah berusia matang dan siap lahir batin untuk menikah. Dan sang ikhwan adalah lelaki shalih yang tidak diragukan lagi komitmennya terhadap Islam. Dan yang lebih penting lagi, toh syariat juga membolehkan seorang wanita melamar pria.

Namun dalam benak sang akhwat, ia merasa tindakan tersebut tidak umum terjadi di masyarakat. Naluri keakhwatannya merasa tidak pantas dan malu jika harus melamar seorang pria terlebih dahulu. Sebab lazimnya yang ia lihat, prialah yang harusnya melamar lebih dulu dan bukan wanita.

Berkaca pada Ummahatul Mukminin, Khadijah ra

Khadijah adalah seorang saudagar Arab Quraisy yang kaya raya. Parasnya jelita, begitu juga kepribadiannya. Allah mempertemukannya dengan Muhammad yang saat itu belum diangkat menjadi Rasul.

Muhammad adalah salah satu pedagang yang dipekerjakan Khadijah. Dalam salah satu tugasnya, Khadijah meminta Muhammad menjual dagangannya ke Syam dengan didampingi pembantu Khadijah, Maisarah.

Selain mendampingi, Maisarah juga diminta untuk mengawasi Muhammad. Sepulangnya dari Syam, Maisarah membawa banyak berita yang membuat hati Khadijah senang, diantaranya sikap jujur Muhammad dan kebijaksanaannya dalam menjual barang-barang Khadijah sehingga mendatangkan keuntungan yang banyak.

Cerita lain yang membuat Khadijah kagum pada Muhammad adalah kepribadiannya yang shalih.  Sepanjang perjalanan, seperti dituturkan Maisarah, Muhammad tidak pernah ikut bersuka ria bersama pedagang lainnya. Muhammad lebih senang menyendiri dengan bibir yang tidak pernah kering dari kata-kata dzikir.

Usia Khadijah ketika itu 40 tahun sementara Muhammad 25 tahun. Pada usia itu pula, Khadijah memutuskan untuk melamar Muhammad dengan cara yang terhormat. Ia mengutus sahabatnya yang bernama Nafisah untuk menjadi perantara dalam menyampaikan perasaannya kepada Muhammad.

Amanah yang disampaikan Nafisah membuat Muhammad sangat terkejut. Beliau tidak tahu harus menjawab apa. Di matanya, Khadijah adalah pedagang kaya raya dan jelita. Namun, setelah termenung sejenak, tanpa ragu akhirnya Muhammad menerima keinginan hati Khadijah. Muhammad lalu menikahi Khadijah.

Kisah serupa lainnya juga dialami oleh Nabi Musa as. Kejadian ini terekam dalam surah Al Qashash ketika Nabi Musa yang tengah dalam pelarian dari kejaran Firaun lalu membantu dua orang gadis mengambil air bagi ternak mereka.

Ketika itu, sumur 'dikuasai' kaum penggembala laki-laki, kedua putri itu pasti akan mengalami kesulitan memberi minuman ternak mereka kalau harus menunggu terus sampai kaum lelaki selesai. Karena itu, Musa yang bertubuh besar dan perkasa itu lalu mengambilkan air bagi mereka.

Sesudahnya, Musa as terduduk dan berdoa memohon pertolongan Allah. Gadis-gadis itu mendengar lalu menceritakannya kepada ayah mereka, seorang tokoh kota Madyan. Maka sang Ayah pun mengundang Musa agar menemuinya.

Dalam perjalanan mereka, si gadis berjalan di depan Nabi Musa as untuk menunjuki jalan, tapi Musa pun menyuruhnya untuk berjalan di belakangnya saja, jika ia berjalan ke arah yang salah dimintanya agar sang gadis menimpuknya dengan kerikil.

"Salah seorang dari dua gadis itu berkata kepada ayahnya, 'Hai ayahku, terimalah dia sebagai pekerja upahan. Pekerja upahan yang baik ialah yang kuat dan terpercaya.' Ayahnya berkata, 'Saya bermaksud akan menikahkan kamu dengan salah seorang anak gadis saya ini dengan syarat kau bekerja padaku selama delapan tahun, kalau akan disempurnakan sampai sepuluh tahun, itu terserah kepadamu. Saya tidak bermaksud menyusahkan kamu. Insya Allah kamu akan mendapatkan aku termasuk orang-orang yang shalih." (QS. Al Qashash : 26-27)

Bagaimana Sekarang?

Di Maroko, kabarnya, belakangan ini kaum wanita mulai berani melamar calon pasangannya. Hanya sayangnya, alasan yang ditiupkan para pendukung tradisi baru ini adalah bahwa karena wanita dianggap 'sejajar' dengan kaum pria. Masalahnya, tren baru ini bertolak belakang dengan tradisi setempat sehingga menimbulkan pro-kontra.

Di Indonesia pun, praktik semacam ini sebenarnya sudah lama dilakukan oleh suku Minangkabau (Padang). Menurut suku yang menganut paham garis keturunan dari ibu (matrilineal) ini, pihak wanitalah yang harus lebih dulu melamar. Meski demikian, di sejumlah daerah, terutama yang kental adat ketimurannya, orang menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang tabu.

Islam tidak Melarang

Syariat Islam sendiri tidak melarang wanita melamar lebih dulu pria idamannya. Bila sudah menemukan calon yang tepat (shalih), tidak ada salahnya bila kita melakukan first move.

Hal tersebut seperti diriwayatkan hadits berikut ini: Dari Tsabit ia berkata, "Kami duduk bersama Anas bin Malik yang di sebelahnya ada seorang anak perempuannya. Lalu Anas berkata, 'Datanglah seorang perempuan kepada Rasulullah, lalu ia menawarkan dirinya kepada beliau, kemudian perempuan itu berkata, 'Wahai Rasulullah, maukah tuan mengambil diriku?' Kemudian anak perempuan Anas menyeletuk, 'Betapa tidak malunya perempuan itu!' Lalu Anas menjawab, 'Perempuan itu lebih baik daripada kamu. Ia menginginkan Rasulullah karena itu ia menawarkan dirinya kepada beliau.'" (HR. Ibnu Majah)

Berikhtiar untuk mendapatkan jodoh tentu merupakan amal shalih, seperti juga menikah yang merupakan perbuatan mentaati syariat agama. Dan Allah telah berfirman bahwa setiap perbuatan baik (amal shalih), baik laki-laki maupun wanita akan diganjar dengan pahala yang sama. "Siapapun berbuat kebaikan, laki-laki atau perempuan sedang ia beriman, mereka akan masuk surga dan sedikitpun mereka tidak teraniaya." (Q.S. An Nissa : 124)

Namun di sebagian besar masyarakat Indonesia, misalnya, inisiatif untuk melamar dianggap lebih sopan jika datang dari pihak laki-laki. Masalah gengsi juga kerap kali menghalangi wanita untuk melamar pria idamannya. Padahal jika syariat Islam saja tidak menghalangi, mengapa harus gengsi? Hanya saja, sama saja halnya seorang lelaki juga harus "siap mental" jika lamarannya ditolak, maka seorang perempuan yang melamar juga harus siap siaga menerima kemungkinan ditolak.

Lewat Perantara

Tidak ada aturan baku perihal tata cara wanita melamar laki-laki, namun kita dapat meniru pengalaman Khadijah ketika melamar Rasulullah saw. Untuk menjaga kehormatannya, ia memakai perantara dalam menyampaikan perasaan dan lamarannya terhadap Rasulullah saw.

Keberadaan perantara ini dapat mencegah timbulnya fitnah atas lamaran yang disampaikan. Adanya perantara juga dapat membantu menjaga kehormatan wanita sebagai pihak yang memiliki inisiatif melamar.

Perantara Harus Amanah

Saat Khadijah memutuskan melamar Rasulullah saw ia tidak sembarangan memilih perantara. Khadijah memilih perantara yang amanah, yaitu sahabatnya yang bernama Nafisah. Dalam kisah Nabi Musa pun, si gadis yang menaruh hati pada Nabi Musa meminta ayahnya sendiri sebagai penyambung lidahnya.

Sedikitnya ada dua kriteria yang perlu diperhatikan saat memilih perantara, yakni seiman dan amanah. Sikap amanah ini diperlukan agar kehormatan pihak wanita yang mengajukan lamaran tetap terjaga. Hal lain yang juga perlu diingat, adalah prosesi lamaran. Tidak perlu membawa banyak orang saat proses lamaran. Cukup satu atau dua orang saja yang berperan sebagai saksi.

Berbeda dengan akad, khitbah tidak perlu disyiarkan, karena ada kemungkinan pengajuan lamarannya tidak diteruskan atau ditolak. Tidak perlu semua orang tahu, sehingga jika lamaran itu ditolak tidak mendatangkan aib.

Bagaimana? Jika telah ada lelaki yang diyakini keshalihannya dan muslimah sekalian telah memenuhi syarat syariat diatas serta tentunya telah siap mental... Tunggu apa lagi?. Wallahu'alam bissawab

HR / dari berbagai sumber