Pola Penangkapan Densus 88 Menyiksa Dan Mengeksekusi Terduga Teroris, Melahirkan Dendam Terhadap Polri


Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW), Neta S. Pane mengungkapkan Densus 88 sebagai satuan khusus untuk penanggulangan terorisme dinilai cenderung bergaya algojo, mengeksekusi mati tersangka teroris di lapangan. Padahal, tugas Polri adalah melumpuhkan dan membawa tersangka ke dalam proses hukum dan bukan mengeksekusi mati di tempat.

IPW menilai, aksi teror yang terus merebak dan makin banyaknya jumlah pengikut kelompok teroris adalah sebagai dampak dari buruknya pola penangkapan yang dilakukan oleh Detasemen Khusus 88 Polri.

"Cara-cara yang dilakukan Densus 88 menyiksa dan mengeksekusi mati tersangka teroris dalam penangkapannya, telah melahirkan dendam kesumat yang luar biasa, terutama terhadap Polri," ujar Neta.

Di luar dugaan, lanjut Neta, pola penangkapan ini telah melahirkan sikap simpati untuk ikut berjihad melakukan pembalasan, baik dari para keluarga tersangka maupun kelompok-kelompok lainnya. Tak heran arus keberangkatan para simpatisan kelompok ini ke Suriah kian banyak dan diam-diam mereka kembali ke Indonesia setelah bergabung dengan kelompok ISIS.

Neta mencontohkan kasus Bahrun Naim. Menurtnya semula dia bukanlah teroris. Bahrun hanya seorang teknisi komputer yang suka mengkritisi sikap Densus 88 di media-media online. Pada 2010, Bahrun tiba-tiba ditangkap di jalanan dan disiksa. Ia dituduh menyimpan senjata dan peluru. Saat itu juga di facebook-nya muncul sikap simpati anak anak muda pada nasib Bahrun.

"Mereka mencaci maki Densus. Akhirnya Naim divonis 2,5 tahun. Lepas dari penjara Naim ke Suriah. Lalu bergabung dengan ISIS. Begitu juga dengan anak Imam Samudra yang masih remaja ke Suriah. Akibatnya muncul generasi teroris yang turun temurun, yang akan menyulitkan bagi bangsa ini untuk mengatasinya. Proses deradikalisasi gagal yang terjadi dendam kesumat kian marak dan menjadi kayu bakar terorisme. Fenomena ini perlu kita cermati semua pihak," terang Neta.

Neta menambahkan, sebenarnya program deradikalisasi harus sejalan bersinergi dengan program penindakan yang profesional. Celakanya, masing-masing pihak di jajaran aparat keamanan cenderung mempertinggi egosektoralnya. Akibatnya, pelaksanaan tugas di lapangan saling merugikan satu sama lain.

Ke depan, sambung dia, bangsa ini perlu pemimpin Densus 88 yang berwawasan luas dan bisa mengendalikan anak buahnya di lapangan agar bertindak profesional. Selain itu kendali Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) yang mengakar ke seluruh unsur yang berhubungan dengan penanggulangan teror perlu ditingkatkan. Sehingga bangsa ini tidak hanya kebakaran jenggot saat aksi teror bom meledak. 

Source: salam-online