Gurunya Ikhwan dan Darisnya Akhwat, Cantik Lagi...

Akhwat kalo mau cari guru tajwid, mbok ya cari guru yang sama-sama akhwat gitu loh, insya Allah masih banyak koq akhwat yg pintar tajwidnya.

Jangan malah nyarinya yg ikhwan, apalagi yang masih muda dan ganteng, ...hadeeuuhhh....entar malah gak konsen belajarnya. Gak peduli dia itu ustadz terkenal atau ustadz kampung, karena mereka juga manusia seperti kita, terkadang keimanannya bisa naik turun.

Jika dijawab: "Walaupun kami belajar ke guru tajwid yg ikhwan, tapi kami belajarnya dibalik hijab, dan kami tidak saling melihat.

Ana menanggapi: "Emang bisa belajar tajwid tanpa talaqqi (berhadapan langsung)? Seandainya bisa, maka itu manfaatnya sangat sedikit. Makanya para ulama sangat menekankan untuk belajar tajwid secara talaqqi atau saling berhadapan.

Gimana caranya si guru mengetahui lahn (kesalahan) bacaan si murid jika tidak saling berhadapan? Bagaimana caranya si guru mengetahui gerakan bibir atau lidah si murid ketika belajar makharijul dan sifat huruf? Padahal itu perkara yang penting dalam belajar tajwid. Bacaan yang seharusnya mulut dimonyongkan, tapi tidak dilakukan murid, maka itu termasuk kesalahan dalam tajwid. Maka dari itu, tidak cukup belajar tajwid hanya melalui metode pendengaran saja.

Coba bayangkan seandainya gurunya ikhwan dan muridnya akhwat, cantik lagi...kemudian si guru memperhatikan dengan seksama gerakan-gerakan bibir dan lidah si akhwat tatkala membaca huruf-huruf, ditambah lagi suaranya yg merdu dan lembut didengar...belum lagi wajahnya yang cantik dan putih, bahkan kecantikannya sesuai dengan idamannya atau lebih cantik dari istrinya (jika si guru sudah beristri)...apa yg akan terjadi?

Hehe...mereka juga manusia seperti kita, bukan malaikat. Maka itu bagi akhwat usahakan kalo cari guru tajwid yang sama-sama akhwat ajah...lebih aman dan terhindar dari fitnah, insya Allah...Sangat berat sekali menjaga hati ini dari fitnah wanita..

Berkata Abu Al-Malih: ”aku pernah mendengar Maimun bin Mihran berkata: ”Jika diperintahkan untuk menjaga Baitul mal lebih kusuka daripada diamanahi menjaga seorang wanita”. (siyar/77).

Berkata Atho’ bin Abi Rabah rahimahullah : “Jika aku diamanahi untuk menjadi penjaga baitul mal maka aku yakin akan mampu menjaga amanah, namun aku tidak pernah merasa aman dari (fitnah wanita) sekalipun terhadap seorang budak wanita hitam yang jelek." (Siyar 5/87).