Jika Benar, Aku Harus Belajar Dari Wanita Muda Ini



Di tempat yang sama, seorang wanita muda yang kelihatannya baru saja menikah, menghuni kontrakan petak yang rapat. Atap asbesnya pun menambah panas di kala siang hari. Wanita muda itu begitu bahagia.

Tidak sedikit pun keluh kesah keluar dari bibirnya merona alami tanpa gincu. Jilbabnya menjuntai, menutupi dada dengan gamis yang menyentuh sampai tanah. Langkahnya begitu cepat, tanpa peduli semua mata menatap, termasuk aku, tetangganya yang selalu memperhatikan sejak kedatangannya lima bulan silam. Beberapa kali kami bertegur sapa secara singkat, selalu terpancar aura keteduhan dari wanita berjilbab lebar itu.

“Apa tidak gerah ya, siang-siang begini kenakan pakaian tertutup seperti itu?” tanyaku dalam hati.

Sore itu, aku menuju ke dapur. Siapkan makanan untuk suamiku yang akan pulang kerja. Di antara kebiasaanku adalah berbagi makanan kepada tetangga. Ini turun temurun di keluargaku. Ibukulah yang selalu mengajarkan untuk selalu baik kepada tetangga, bahkan kepada orang yang menyakiti sekali pun. Walau tentu, aku tak sesempurna itu. Sebagai manusia, kadang aku masih sulit mengelola emosi ketika marah. Nah, sejak kedatangan perempuan berjilbab lebar itu, aku belum pernah mengetuk pintu kontrakannya. Karena menurutku, dia berbeda denganku. Aku tidak memakai baju seperti gadis muda itu.

Aku berdiri di depan pintu kontrakannya. Berharap memiliki teman yang sama-sama mengingatkan kebaikan. Berdakwah di daerah rantau itu, seperti berjalan di padang pasir. Ketika melihat kolam air yang sejuk, harus memastikan dahulu asli atau hanya fatamorgana. Karena kita akan bertemu beragam karakter manusia. Kita akan bertemu orang yang terlihat baik dan penampilannya baik,  tetapi kelakuannya sebaliknya. Atau, kita bertemu orang yang kelihatan biasa-biasa saja, tetapi memiliki hati sekilau berlian. Aku berbicara seperti ini karena memiliki pengalaman pahit yang membuat bisnis suamiku bangkrut sebab orang-orang berkulit belut. Aku pun pasrah, pasti ada hikmahnya terlempar dari rumah mewah hasil jerih payah hingga sampai ke kontrakan padat penduduk seperti ini.

Aku mulai mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Berharap wanita berjilbab lebar itu segera membukakan pintunya. Ada perasaan gelisah karena ditatap sekumpulan ibu-ibu yang sedari tadi bergerombol bicara A sampai Z masalah dapur orang. Itulah hal yang kadang membuatku tidak betah tinggal di sini. Tetapi ada perasaan sedih. Seharusnya dari tangan merekalah terbentuk generasi berkualitas dan seorang suami hebat. Mereka sudah sering kubawakan makanan. Tapi hasilnya, aku selalu diajak bergabung untuk sekedar bergosip ria. Karena aku merasa pembahasan mereka bukan hal yang aku suka, maka aku memilih menghindar.

Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarokaatuh. Silakan masuk, Bu.”

Aku pun memasuki rumah kontrakan wanita berjilbab lebar itu. Hanya ada karpet, meja kecil, sebuah laptop, tempat tidur lantai, dan satu dispenser. Tidak ada televisi, kipas angin, atau kulkas. Hanya ada tumbukan buku dan baju yang saling bersaingan.

Wah, maaf mengganggu. Ini masakanku hari ini. Silakan dicicipi.” ujarku.

Alhamdulillah, terima kasih ya Allah atas rezekinya. Terima kasih Bu untuk masakannya. Tetapi, semoga tidak merepotkan. Saya simpan, ya Bu.”

Iya, gak apa-apa. Makan langsung juga tidak apa-apa.”

Nunggu suami pulang berjualan, Bu. Nanti buka puasa bersama saja.”

Aku pun menelan air ludah karena tidak pernah menjalankan puasa sunnah. Puasa Ramadhan saja masih ada yang belum dibayar.

Suamimu pebisnis ya?” pertanyaanku mengalihkan.

Suami saya berjualan buku dekat Sekolah Islam, Bu.” jawabnya dengan senyum yang selalu mengembang.

Aku pun menatap wajah wanita di hadapanku itu. Masih ada sisa air wudhu di wajahnya yang bersih dan sangat cantik. Aku pun semakin penasaran. Rupa bidadari, tetapi hidup seadanya.

Suamimu beruntung ya memiliki istri yang sangat cantik.”

Kembali, wanita berjilbab itu tersenyum sambil melipat sajadah.

Saya yang beruntung, Bu. Memiliki suami yang baik  sekaligus imam yang saleh.”

Entah dari mana asalnya, ia pun menceritakan masa lalunya. Sebelum mengenal suaminya, ia adalah gadis yang tidak mengenal Islam. Lahir beragama Islam, tetapi kehidupannya jauh dari Islam. Sejak usia baligh tidak menutup aurat, memakai baju yang mempertontonkan bentuk dan lekukan tubuh. Semua  karena tidak ada yang mengajarkan hukum berpakaian muslimah. Apalagi shalat lima waktu, tidak pernah dikerjakan. Tetapi sekeluarga tetap Islam.

Aku hanya menarik napas. Kisahnya sama denganku di masa lalu, begitu jauh bahkan asing dari ajaran agama. Aku pun penasaran dan ingin mengetahui lebih mendalam tentang keadaannya yang sekarang; hidup sederhana. Apakah hal itu membuatnya senang? Jika benar, aku harus belajar dari wanita muda ini. Karena terkadang, hatiku masih turun naik tentang arti keikhlasan dalam hidup.

Senyum manisnya pun mengembang. Wanita berjilbab lebar itu kembali menerawang masa lalunya. Sesekali, ada makna bingung di wajahnya. Mungkin karena mendengar pertanyaanku yang sedikit aneh. Ia pun kembali bercerita.

“Mas Wahyu datang melamar, mengajak menikah secara sederhana. Tentu, membuat ibu tidak setuju. Ibu menginginkan pesta pernikahan yang megah. Kemudian, bapak bertanya terkait mahar apa yang akan diberikan untuk anak gadisnya. Dan, mahar itulah yang membuat luluh hati bapak dan menerima lamaran Mas Wahyu, pria sederhana.”

Apa itu?” tanyaku menyela. Dalam hatiku, pasti cuma seperangkat alat shalat.

Hafalan al-Qur’an. Dan sampai saat ini, aku bahagia hidup dengan suami.” tutur wanita berjilbab lebar nan anggun itu.

Bagaimana keluarga, teman-teman masa lalumu, apa mereka masih mau menemuimu?” aku terlalu banyak memberondong pertanyaan. Karena, setelah aku dan suami hidup terdampar di kontrakan padat ini, tak ada satu pun yang bersilaturahmi padaku. Mungkin, ini bentuk kesamaanku dengannya. Atau hanya perasaanku saja.

“Setelah menikah, aku diajarkan cara berpakaian muslimah. Tentu saja, orang-orang terdekatku menjadi marah. Mereka bilang, aku kembali ke zaman penjajahan. Ada juga yang bilang, aku stres karena mau hidup menderita sebab cinta. Sedih lagi, mereka yang protes adalah yang dulu bersamaku. Mereka tidak pernah menemuiku. Tapi kami yang menemui mereka untuk bersilaturahmi.” tuturnya.

Dug, jantungku berdegup kencang. Seakan darah memompa cepat. Cara sederhananya membuatku bercermin. Seharusnya, aku tidak sombong ketika dapat ujian. Seharusnya, aku yang menerima ketetapan-Nya sehingga hidupku bahagia.

“Aku juga ingin berjilbab sepertimu. Atau, aku jilbabi hatiku dahulu ya? Karena bajuku tidak banyak. Aku menunggu suamiku membelikan baju-baju seperti dahulu yang kukoleksi hampir ratusan, sebelum semua itu kena sita.” keluhku padanya. Entah kenapa, kata-kata itu terlontar begitu saja. Seperti dorongan niat yang kuat dari hati, apa ini yang namanya hidayah?

“Alhamdulillah, niat baik harus disegerakan. Soal hati, kita sama-sama belajar dan pasrah kepada Sang Pemilik Hati ini.” ucap gadis itu.

Aku pun bergegas pamit dan ingin segera menunaikan kewajibanku sebagai muslimah. Tiba-tiba, langkahku tertahan. Muslimah salehah itu mengambil sesuatu, kemudian memeluk dan membisikkan kata-kata yang membuatku seakan tak percaya bahwa wanita muda itu berhati mulia.

“Gamis pertama untuk Ibu. Diterima ya, Bu.”

“Memang kau punya banyak, sampai-sampai merelakan untukku?” tanyaku ketus. Padahal, ini kali pertama aku mendapat hadiah dari seseorang. Dahulu, aku punya ratusan gamis yang hanya kuderetkan rapi di lemariku. Gamis yang begitu indah dan mahal. Aku pun memakainya hanya untuk acara tertentu. Setelah itu, aku melupakannya dan lebih nyaman dengan pakaian yang terbuka dan seksi.

“Ada lima gamis. Itu cukup untuk berganti-ganti dalam seminggu. Yang terpenting menutup aurat dahulu.” tuturnya amat lembut.

Bibirku tidak bisa berkata-kata. Kerongkonganku kering selaras cuaca panas di kontrakan ini. Airmata seakan ingin meluncur dari sudut mataku. Tangis pilu dan bahagia bersatu. Kupeluk erat tubuh gadis muda yang telah menyadarkanku. Kata-katanya menggema, “Niat yang baik harus disegerakan.” Ya, segera. Karena kita tidak akan tahu, kapan ajal menjemput.

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb (Hazimah Nurul Wafiq)