Menurut Anda Yesus Itu Mati di Kayu Salib Atau Tidak?


Debat dengan kaum Liberalis di media sosial baik dari kalangan Jaringan Islam Liberal (JIL) atau Jemaat Islam Nusantara (JIN) kerap menuliskan status yang memancing kemarahan ummat Islam.
Sesekali waktu bolehlah kita mengomentarinya. Namun jika keseringan "ngomen", ibarat memberi pisang pada monyet.

Berikut dialog antara mahasiswa cerdas dengan profesor yang "detected" JIL, dikutip dari buku Kemi karya Adian Husaini.

Mahasiswa cerdas: “Apa artinya sebagai orang Islam, saya tidak boleh meyakini hanya agama saya yang benar. Menurut Prof. semua agama benar?”

Profesor: “Masing-masing agama wajar mengclime agamanya yang benar. Tapi juga harus pikirkan, pemeluk agama lainnya juga meyakini hal yang sama. Kita, kaum akedimisi atau pemuka agama harus mengembangkan cara pandang inklusif, yaitu melihat agama-agama pada posisi yang sama sehingga kebenaran agama bersifat relatif, bergantung dari cara pandang terhadap agama.”

Mahasiswa cerdas: “Apa artinya sebagai muslim, Prof. sudah tidak meyakini hanya Islam yang benar. Bagaimana dengan ayat “Innad diina ‘indallahi al-Islam?””

Profesor: “Ya, saya harus bersikap objektif. Saya berdiri pada posisi netral, saya melihat agama-agama pada posisi yang sama. Tidak melebihkan satu dengan yang lainnya.”

Mahasiswa cerdas: “Berarti secara pemikiran, Prof. bukan muslim lagi?”

Profesor: “Saya tetap muslim, tetapi saya bersikap netral ketika melihat agama-agama lain, Jadi, saya tidak eksklusif!”

Mahasiswa cerdas: “Kalau muslim pasti eksklusif cara berpikirnya, sebab akidahnya berbeda dengan yang lainnya.”

Profesor: “Itu cara berpikir sempit! Coba luaskan cakrawala berpikir kita. Kita keluar dari garis ufuk. Lihatlah agama-agama yang ada dari titik pandang ketinggian yang sama. Kita akan melihat, agama-agama yang ada ternyata menyembah Tuhan yang sama, hanya cara menyembah dan menyebut nama Tuhannya saja yang berbeda-beda. Hakikatnya sama saja.”

Mahasiswa cerdas: “Saya tanya kepada Prof. sebagai seorang muslim, apakah Yesus itu mati di kayu salib atau tidak?”

Profesor: “Menurut orang Islam, Yesus tidak mati di kayu salib. Menurut orang Kristen, Yesus mati di kayu salib. Masing-masing punya dasar sendiri.”

Mahasiswa cerdas: “Saya tanya Profesor, bukan menurut orang lain!”

Profesor: “Lho, saya kan akademisi, saya harus bersikap arif dan netral, tidak melibatkan diri pada satu klaim tertentu.”

Mahasiswa cerdas: “Itu artinya Prof. tidak bersikap dalam menentukan sesuatu, yang jelas-jelas ditentukan dalam al-Quran Surat an-Nisa ayat 157 bahwa Nabi Isa tidak dibunuh dan tidak disalib. Kalau orang Islam kan harusnya membenarkan berita al-Quran itu. Menurut saya, aneh kalau orang ngaku Islam tapi tidak percaya dengan isi al-Quran!”

Profesor: “Ya, itu bukan saya tidak bersikap. Sikap saya jelas, sikap yang sangat terbuka, inklusif dan tidak eksklusif.”

Mahasiswa cerdas: “Kalau begitu, menurut Prof. semua agama adalah benar?”

Profesor: “Ya benar menurut pemeluknya masing-masing.”

Mahasiswa cerdas: “Kalau Prof. sendiri memeluk agama apa?”

Profesor: “Saya Islam.”

Mahasiswa cerdas: “Nah, Menurut Prof. agama apa yang benar?”

Profesor: “Menurut saya Islam benar menurut pemeluk Islam, Kristen menurut orang Kristen dan seterusnya.”

Mahasiswa cerdas: “Sekali lagi saya tanya menurut Profesor, bukan menurut agama masing-masing!”

Profesor: “Saya kan sudah menyatakan bahwa saya berdiri pada titik netral pada semua agama. Meskipun saya juga Islam.”

Mahasiswa cerdas: “Makin jelas bahwa Profesor berdiri di luar Islam!”

Profesor: “Dalam hal melihat agama-agama lain ya saya netral.”

Mahasiswa cerdas: “Kalau begitu, kita tidak akan bertemu karena berangkat dari posisi dan titik pandang yang berbeda. Saya melihat agama-agama lain dari sudut pandang Islam. Di dalam saya Islam, di luar saya juga Islam. Saya tidak abu-abu.”

Profesor: “Sudahlah. Nanti saya pikirkan pemikiran dan sikap kamu itu. Sikap merasa benar sendiri dengan agama kita, itu sudah saya tinggalkan sepuluh tahun yang lalu. Saya juga semula bersikap seperti kamu, setelah saya mengalami pergaulan luas, saya akhirnya menyadari bahwa keyakinan saya itu keliru.”

Mahasiswa cerdas: “Saya ingin ketegasan dari Profesor, apakah semua agama benar?”

Profesor: “Pertanyaan kamu kembali seperti semula. Saya juga akan menjawab seperti semula bahwa semua agama sebenarnya merupakan ekspresi keyakinan terhadap Tuhan yang sama.”

Mahasiswa cerdas: “Prof. menggunakan logika John Hick yang sebenarnya sudah dibantah oleh ilmuwan agama. Melihat agama pada posisi yang netral adalah sebuah idelogi juga, yakni ideologi netral agama. Itu namanya posisi teologi abu-abu, yakni posisi teologis yang berdiri di luar semua agama. Posisi teologi abu-abu ini bukan Islam, bukan Kristen, bukan Hindu, bukan Budha, atau agama-agama yang lainnya. Inilah posisi agama baru. Juga logika netral agama akan merukunkan agama-agama dan mendamaikan dunia juga sebenarnya mimpi. Sebab, posisi teologi abu-abu itu menambah daftar konflik baru karena memunculkan agama baru. Orang beragama yang yakin dengan agamanya pasti tidak akan mau melepaskan keyakinannya. Kecuali orang-orang yang memang sudah ada penyakit dalam hatinya, yang dalam al-Quran disebut sebagai orang munafik!”

Profesor: “Jadi, kamu menganggap saya munafik?”

Mahasiswa cerdas itu menjawab: “Antum semua yang menilai sikap Profesor ini!”