He Is All Matters To Me Now

Sekelompok Muslimah di Amerika Serikat menutup sekujur tubuhnya dengan jubah hitam. Padahal, di balik jubah tersebut tersimpan tubuh indah berbusana modis.

Setiap sore di tempat yang sama kulihat sekelompok ibu berkumpul membentuk lingkaran di taman family housing, Universitas Colorado, Amerika Serikat (AS). Semua berbusana tertutup dan serba hitam. Sebagian dari mereka malah mengenakan cadar.
Aku yang melewati kelompok itu setiap sore sepulang kuliah hanya dapat mengira-ngira, apa yang menjadi topik perbincangan mereka? Sepertinya seru dan hangat, karena aku dapat mendengar sayup-sayup senda gurau dan tawa tertahan dari mereka.
Sungguh, aku menjadi penasaran, seperti apa wajah-wajah di balik cadar serba hitam itu? Sejauh ini aku hanya bisa membayangkannya saja. Rasa penasaranku sepertinya tak akan pernah terjawab. Sebab, aku tampaknya tak berani bergabung dengan mereka.
Namun, siapa sangka suatu hari aku berkenalan dengan Iman, wanita asal Brazil yang menikah dengan seorang pria Timur Tengah. Dari persahabatan lintas budaya inilah aku menemukan jalan untuk mengenal kelompok ibu yang membangkitkan rasa penasaran itu.
Iman, seperti halnya kebanyakan wanita Brazil, memiliki rupa yang cantik. Setidaknya itulah penilaianku kepadanya. Bentuk wajahnya eksotis khas Amerika Latin.
Katanya, sebelum menikah dengan Ibrahim, penampilannya sangat modis di depan umum. Dia biasa mengenakan pakaian setengah terbuka ala Barat. Ketika hatinya direbut oleh pria Timur Tengah itu, semua menjadi berubah. Dengan senang hati dia meninggalkan semua itu, menggantinya dengan busana berjubah serba tertutup, layaknya seorang wanita Timur Tengah, lengkap dengan gamis dan cadar hitam. Wajah cantiknya terbenam seketika.
Kami berdua sering bertemu. Kadang hanya minum teh bersama, atau sekadar berbagi resep kue dan roti. Pertemuan-pertemuan tersebut selalu mengasyikkan, karena penuh dengan cerita-cerita baru tentang orang-orang dengan latar belakang budaya yang sangat berbeda.
Aku sempat melihat-lihat foto Iman ketika masih gadis di Brazil. Betapa kagum aku menyaksikan ia yang kini telah bermetamorfosis. Dia mampu berubah menjadi istri-Muslimah yang baik dan patuh pada suami. Dia telah mulai lancar berbahasa Arab dan sudah piawai menyiapkan hidangan khas Timur Tengah.
Suatu hari aku memberanikan diri bertanya pada Iman mengenai sekelompok ibu berjubah hitam yang berbaju persis sama dengan dirinya. Iman langsung menanggapinya dengan mengundangku untuk menghadiri pertemuan dengan ibu-ibu itu, yang ternyata sudah terjadwal dengan rapi.
Aku menanti saat itu dengan penuh semangat. Kukenakan bajuku yang tersopan dan berjalan bersama Iman yang berjubah hitam, lengkap dengan cadarnya. Karena cuaca yang kurang menguntungkan, kali ini pertemuan diadakan di dalam ruangan. Kami sampai di apartemen salah seorang ibu yang hari itu menjadi tuan rumah.
Setelah mengintip dari balik pintu dan memastikan tidak ada pria di daerah sekitar situ, pintu terbuka dan kami dipersilakan masuk. Di balik pintu telah tersedia tempat menggantungkan baju-baju. Ya, baju-baju jubah itu ternyata dibuka dan digantung di tempat yang tersedia. Dan, aku terpana melihat wanita-wanita cantik berseliweran di dalam ruangan itu.
Ternyata, meski di depan umum tubuhnya tertutup rapat, namun sesungguhnya di balik itu mereka tetap tampil modis, bahkan terkesan seksi. Mukanya yang tadinya tertutup cadar rapat, kini terlihat jelas. Mata berbinar besar, tulang pipi tinggi, hidung bangir. Sempurna. Subhanallah!
Mereka tengah ramai dalam sebuah permainan kelompok. Kuperhatikan dandanan mereka yang menarik dan diam-diam merasa malu dengan keadaan diriku sendiri. Iman memperkenalkanku dengan ibu-ibu itu. Ternyata mereka berasal dari berbagai negara.
Ada Muslimah dari Jerman, ada yang asli Amerika namun menikah dengan pria Arab, ada yang dari Mesir, dan lain-lain. Memang budaya mereka beragam latar belakangnya, namun yang jelas satu kesamaan: semuanya Muslimah dan berbaju sebagaimana layaknya seorang Muslimah.
Terpesona aku menikmati pertemuanku dengan saudara-saudaraku itu. Di dalam hatiku bertanya-tanya, betapa cantik dan indahnya baju-baju yang mereka kenakan. Semua tersembunyi di balik jubah hitam yang mereka pakai setiap hari.
Sempat tebersit dalam hati, alangkah sayangnya semua keindahan itu karena tak terlihat. Padahal biasanya wanita akan berusaha keras tampil semenarik mungkin di hadapan orang.
Seperti bisa membaca pikiranku, salah seorang di antara mereka menjelaskan, “Kami berusaha menampilkan diri yang sebaik-baiknya hanya untuk suami. Kami berpakaian dan berdandan yang terbaik hanya untuknya, bukan untuk pandangan mata pria yang bukan muhrim kami. Haram hukumnya memperlihatkan aurat pada pria yang bukan muhrim.”
Aku terpana. “Ha, berarti semua kerepotan berdandan dan berpakaian hanya untuk memuaskan sepasang mata saja ya?” seruku spontan.
“Tentu saja,” jawabnya lagi. “Bukan sembarang mata yang ingin kami puaskan, melainkan pandangan mata junjungan kami, satu-satunya pandangan mata yang kami hargai setelah kami dipersuntingnya.”
Aku semakin terheran-heran.
Seketika aku ingat daster favoritku yang sudah berlobang di ujungnya dan selalu kukenakan setiap berada di rumah. Daster itu begitu nyaman dan sejuk untuk dipakai. Sering sekali kupakai untuk tidur malam.
Aku malu sekali mengingat-ingat, mengapa aku tak berusaha untuk tampil sebaik-baiknya di dalam rumah, di depan suami? Justru aku hanya terbiasa memakai baju terbaik ketika hendak berangkat bekerja, padahal suamiku tak akan ada di sana.
Sungguh para ibu mulia ini menyadarkan kekhilafanku selama ini. Untuk siapa seharusnya aku berdandan dan menata diri? Seharusnya, tentu hanya untuk suami pilihan yang telah menjadi pasangan hidup dan telah berikrar untuk mengarungi bahtera kehidupan ini besama-sama.
Pada saat pulang berjalan bersama Iman, kulirik penampilannya yang kini telah berubah 180 derajat dari saat berada di dalam ruang pertemuan tadi. Kini, dari atas sampai bawah, yang terlihat hanya jubah hitamnya yang longgar dan panjang.
Aku teringat foto-foto modisnya di pantai saat dirinya masih lajang. Luar biasa perubahannya. Aku terkagum dan berucap padanya, “Iman, luar biasa pengorbananmu. Betapa berubahnya dirimu setelah menikah dengan Ibrahim.”
Iman menjawab dengan suara terdengan heran, “Pengorbanan? Wah, aku tidak pernah merasa berkorban atau dikorbankan. Aku berusaha memenuhi aturan sebagai seorang Muslimah yang taat. Dan sejujurnya aku merasa senang bisa membuat Ibrahim bahagia, sebab bagaimana pun setelah menikah, dialah satu-satunya junjunganku. He is all matters to me now.”
Hatiku limbung dan teriris-iris. Banyak pelajaran berharga yang kuperoleh hari ini. Begitu banyak hidayah yang bisa kudapat setelah mengenal berbagai ragam manusia. Banyak sudut pandang baru yang menyentakku dari sudut pandang stereotipeku selama ini.
Terima kasih ya Allah, Kau telah mempertemukanku dengan orang-orang yang begitu menarik. Mereka memberi inspirasi untuk melihat kehidupan dengan sudut pandang yang lebih indah.
Amelia Naim adalah penulis buku, ibu rumah tangga, pernah tinggal di Colorado, AS. Diambil dari Majalah Suara Hidayatullah.

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb (Hazimah Nurul Wafiq)