Suro merupakan bulan yang dikeramatkan oleh masyarakat Jawa. Setiap orang Jawa yang 'njawani' akan menahan diri untuk melakukan kegiatan pesta di bulan Suro. Mereka meyakini jika melanggar pantangan itu akan mendapatkan bala.
Menurut pengamat budaya Jawa Han Gagas, Satu Suro menjadi tonggak, menjadi pembuka bulan yang dikeramatkan dan sakral. "Kalau di Jawa tidak boleh ada perayaan pesta dan mengurangi hura-hura. Ini ditabukan untuk manten (pernikahan) dan sunatan," kata Pengamat Budaya Jawa Han Gagas saat dihubungi merdeka.com.
Han mengungkapkan ritual menjauhi pesta pora ini guna menyucikan jasmani dan rohani manusia yang kerap disebut suwung. Setelah mampu ke tahap suwung, manusia akan menuju dimensi spiritualitas yang lebih tinggi dalam dirinya.
"Istilahnya suwung artinya masuk dalam dirinya sendiri. Mengosongkan diri untuk masuk ke dalam dimensi spiritualitas," terang dia dengan logat Jawa kental.
Berbeda dengan bulan Suro (Muharram), bulan Dzulhijjah atau orang Jawa menyebutnya bulan Besar, ada keistimewaan bulan ini dibandingkan yang lain. Ini berkaitan dengan orang punya hajat atau gawe. Baik itu hajatan mengkhitankan atau menikahkan putra putri mereka.
Jika bulan besar ini tiba, sepertinya hajatan atau orang punya gawe membanjir. Satu hari satu desa bisa dua atau tiga orang yang mempunyai gawe. Padahal di bulan sebelumnya Apit atau Dzulqoidah sepertinya satu bulan itu sepi orang punya gawe.
Rahasianya apa? Rahasianya orang Jawa masih percaya pada primbon. Primbon itu apa? Primbon adalah berbagai macam perhitungan yang berkaitan dengan kehidupan manusia di dunia ini. Dari mulai lahir sampai nanti meninggal dunia semua ada di buku primbon.
Seperti halnya penentuan orang punya gawe di Jawa masih berpatokan pada primbon. Ada berbagai macam buku primbon salah satu yang cukup terkenal adalah Kitab Primbon Betal Jemur Adammkna. Dalam buku ini orang punya gawe khususnya hajatan ada pada halaman 21.
Dalam buku ini ditulis bulan yang baik untuk hajatan nikah di antaranya Besar yang mengandung arti akan kaya dan mendapat kebahagiaan. Bulan Ruwah mengandung maksud Selamat dan selalu damai. Rejeb berarti Selamat serta banyak anak. Jumadilakhir artinya kaya akan harta benda. Bulan-bulan di atas sangat disarankan untuk punya gawe.
Sedangkan bulan yang boleh dilanggar karena sesuatu hal diantaranya adalah bulan Sapar walau akan kekurangan dan banyak utang. Bulan Rabiul Akhir walau sering digunjingkan dan di caci maki. Bulan Jumadilawal walau sering tertipu, kehilangan dan banyak musuh. Selain itu bulan Sawal meski kekurangan dan banyak utang.
Adapun bulan-bulan pantangan yang tidak disarankan untuk orang punya gawe di antaranya bulan Suro. Di bulan Suro ini konon kalau dilanggar akan mendapat kesukaran dan selalu bertengkar. Bulan Rabiul awal juga pantangan. Bulan puasa atau Ramadhan juga pantangan karena akan berakibat akan mendapatkan kecelakaan. Terakhir bulan pantangan adalah Dzul Qoidah kalau dijalankan akan berakibat sering sakit dan bertengkar dengan teman.
Dasar di atas itulah yang digunakan orang Jawa untuk menentukan bulan untuk penyelenggaraan hajatan terutama pernikahan. Untuk bulan besar, Jumadil akhir, Rejeb, Ruwah adalah bulan favorit. Sedangkan bulan Sapar, Rabiul Akhir, Jumadil Awal, dan Sawal adalah bulan-bulan yang boleh dilanggar. Sedangkan bulan bulan Suro, Rabiul Awwal, Puasa dan Dzul Qoidah adalah bulan-bulan yang tidak disarankan untuk orang yang akan menyelenggarakan hajatan pernikahan.
Percaya atau tidak percaya tergantung masyarakat yang menilai. Namun menurut ulama, semua bulan dianggap baik untuk melangsungkan pernikahan.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amidhan Shaberah mengungkapkan, soal pernikahan, tidak ada bulan yang tidak baik untuk melangsungkan pernikahan. Serta tidak ada yang spesial menikah di bulan Islam seperti bulan Dzulhijjah dibandingkan dengan bulan lainnya. (merdeka)