Pemerintahan Jokowi-JK telah mengajukan RAPBN 2016 kepada DPR. RAPBN itu menggambarkan bagaimana kondisi perekonomian dan keuangan negeri ini tahun depan. RAPBN juga menggambarkan apa yang akan diterima dan dihadapi oleh rakyat tahun depan. Pada sisi penerimaan, RAPBN 2016 menggambarkan beban pembayaran rakyat makin besar, sementara pada sisi belanja beban rakyat juga makin berat.
Subsidi Terus Dikurangi
Sebagaimana diketahui, setiap tahun subsidi untuk rakyat dalam APBN terus dikurangi. Pada APBNP 2015 anggaran subsidi turun drastis sebesar 60%, dari Rp 341,81 triliun pada tahun 2014 menjadi hanya Rp 137,82 triliun pada tahun 2015, atau turun Rp 203,99 triliun! Penurunan itu terutama karena subsidi untuk premium dihapuskan. Akibatnya, harga premium ditetapkan mengikuti harga minyak dunia sejak Maret 2015. Sebelumnya, pada Oktober 2014, dengan alasan saat itu harga minyak dunia naik, Pemerintah Jokowi menaikkan harga BBM di dalam negeri. Kenaikan harga BBM itu menyebabkan daya beli masyarakat anjlok hingga saat ini. Namun, Pemerintah tak konsisten. Giliran harga minyak dunia anjlok drastis hingga kisaran US$ 40-an perbarel saat ini, nyatanya Pemerintah tak menurunkan harga BBM. Menteri ESDM beralasan, meski harga minyak dunia turun saat ini, harga BBM di dalam negeri tak diturunkan karena Pertamina masih merugi.
Pada RAPBN 2016 anggaran subsidi untuk rakyat kembali dikurangi. Di antara yang dipangkas adalah subsidi listrik; dipangkas Rp 23,15 triliun, dari Rp 73,15 triliun di APBNP 2015 menjadi hanya Rp 50 triliun di RAPBN 2016. Akibatnya, tahun 2016 subsidi untuk pelanggan 900 KWh akan dihilangkan. Itu artinya, tarif listrik untuk pelanggan 900 KWh tahun depan dipastikan bakal naik. Lagi-lagi beban rakyat dipastikan makin bertambah.
Untuk subsidi non-energi, subsidi pangan (raskin) RPABN 2016 memang naik Rp 2,05 triliun, yakni menjadi Rp 20,99 triliun dari sebelumnya Rp 18,94 triliun di APBNP 2015. Namun, subsidi pupuk dipangkas Rp 9,4 triliun, yakni dari Rp 39,9 triliun di APBN 2015 menjadi Rp 30 triliun di RAPBN 2016. Itu artinya, para petani justru akan mendapat beban lebih besar akibat harga pupuk naik.
Utang Makin Ditumpuk
Semua orang paham, di antara tanda buruknya pengelolaan keuangan adalah besar pasak daripada tiang; pengeluaran lebih besar dari pendapatan. Ironisnya, perilaku itulah yang dicontohkan oleh Pemerintah melalui penyusunan APBN dari tahun ke tahun, dan itu telah berlangsung lama.
Belanja RAPBN 2016 diusulkan sebesar Rp 2.121,3 triliun. Adapun total penerimaan diusulkan sebesar Rp 1.848,1 triliun. Jadi, RAPBN 2016 direncanakan defisit Rp 273,2 triliun. Defisit ini lagi-lagi akan dibiayai dari utang.
Pada tahun 2016 Pemerintah akan mengeluarkan Surat Berharga Negara (SBN) atau menarik utang dalam bentuk surat utang sebesar Rp 326,3 triliun dan utang dalam negeri Rp 3,3 triliun. Pemerintah juga akan menarik utang luar negeri Rp 72,84 triliun.
Akibat gemar berutang, total utang Pemerintah makin menumpuk. Pada akhir Juli 2015 lalu total utang Pemerintah mencapai Rp 2.911,41 triliun. Seiring dengan itu, total pembayaran cicilan pokok dan bunga utang juga terus membengkak. Pembayaran bunga utang periode 2010-2014 naik 10,8% pertahun, yaitu dari Rp 88,38 triliun pada tahun 2010 menjadi Rp 133,44 triliun pada tahun 2014. Alokasi pembayaran bunga utang di APBNP 2015 mencapai Rp 155,73 triliun atau naik 16,7% dari realisasi bunga utang tahun 2014. Adapun di RAPBN 2016, pembayaran bunga utang direncanakan Rp 183,429 triliun.
Jika digabung dengan cicilan pokoknya yang juga terus naik, total cicilan utang tahun 2014 (pokok + bunga) mencapai Rp 370,471 triliun, sementara di APBNP 2015 mencapai Rp 403,835 triliun.
Jika dihitung dari 2009-2014, total pembayaran bunga utang Pemerintah mencapai Rp 622,42 T. Jumlah ini, jika ditambah dengan cicilan pokok realisasi 2014 dan APBNP 2015 saja, telah mencapai Rp 1.107,556 triliun. Meski sudah begitu besar cicilan pokok dan bunga yang telah dibayar, nyatanya total utang Pemerintah bukan berkurang, sebaliknya malah terus membengkak. Total utang Pemerintah pada akhir Juni 2014 Rp 2.604,93 triliun. Total utang ini naik drastis menjadi Rp 2.864,18 triliun pada Juni 2015 dan naik lagi menjadi Rp 2.911,41 triliun pada 31 Juli 2015.
Alhasil, anggaran subsidi untuk rakyat terus dikurangi, sementara total cicilan utang (pokok+bunga) terus ditambah seiring dengan meningkatnya beban utang Pemerintah. Tentu ini ironis. Apalagi Pemerintah selalu menganggap subsidi untuk rakyat membebani APBN. Sebaliknya, pembayaran bunga utang tidak dianggap oleh Pemerintah membebani APBN. Karena itu besarannya terus ditingkatkan seiring dengan beban utang yang terus ditumpuk. Beberapa tahun ke depan (mungkin tahun 2017) boleh jadi pembayaran bunga utang akan lebih besar dari subsidi untuk rakyat. Itu berarti, Pemerintah lebih mengutamakan kepentingan pemodal (terutama asing) daripada kepentingan rakyatnya sendiri.
Berbahaya
Selain itu, terkait utang luar negeri, faktanya utang luar negeri berbahaya bagi negeri ini. Ini karena utang luar negeri, terutama utang program, menjadi alat campur tangan dan kontrol pihak asing terhadap kebijakan Pemerintah. Ironisnya, utang program di RAPBN 2016 justru meningkat drastis dari Rp 7,5 triliun di APBN 2015 menjadi Rp 34,58 triliun di RAPBN 2016. Melalui utang program itu di antaranya pihak asing mendikte pembuatan UU sejak penyusunan draft (rancangan)-nya. Akibatnya, banyak sekali UU bercorak liberal yang lebih banyak memenuhi keinginan asing dan tentu menguntungkan mereka daripada berpihak kepada rakyat. Dampak dari UU liberal itu sudah begitu terasa.
Wahai Kaum Muslim:
Belanja RAPBN 2016 menggambarkan secara jelas bahwa tahun depan beban yang harus dipikul oleh rakyat akan makin besar dan lebih berat lagi. Selain itu, dengan terus berutang dengan beban bunga yang tinggi, negeri ini akan terus terpuruk dalam jerat utang. Saat utang makin bertumpuk, tentu APBN, yang notabene uang rakyat, makin tersedot untuk bayar utang plus bunganya yang mencekik. Semua itu adalah untuk kepentingan para pemilik modal, terutama pihak asing. Sebaliknya, alokasi anggaran untuk kepentingan rakyat, khususnya dalam bentuk subsidi, terus dikurangi bahkan bakal dihilangkan sama sekali.
Semua itu karena Pemerintah menerapkan kebijakan ekonomi neoliberal, yang tercermin dalam penyusunan APBN. Dalam APBN yang didasarkan pada kebijakan ekonomi neoliberal, subsidi untuk rakyat akan selalu dianggap sebagai beban Pemerintah. Ini karena dalam sistem ekonomi neoliberal, Pemerintah tidak berkewajiban memerankan dirinya sebagai pengurus rakyat yang benar-benar bertanggung jawab dalam mencukupi segala kebutuhan rakyatnya. Bahkan peran Pemerintah dalam mengurus kepentingan rakyat harus terus dikurangi dan dibatasi. Ini jelas bertentangan dengan Islam. Pasalnya, dalam Islam penguasa bertanggung jawab atas segala urusan rakyatnya, sebagaimana sabda Nabi saw.:
اَلإِمَامُ رَاعٍ وَ هُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعَيَّتِهِ
"Imam (penguasa) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus" (HR al-Bukhari dan Muslim).
Selain itu Pemerintah telah menjadikan utang berbasis riba sebagai salah satu unsur terpenting dalam penyusunan APBN. Ini karena sejak lama utang berbasis riba dianggap sebagai pilar ekonomi. Padahal riba membuat perekonomian akan terus tidak stabil, dihantui banyak masalah dan didera krisis yang terus berulang. Allah SWT telah mengisyaratkan hal itu dalam firman-Nya:
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ
"Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila" (TQS al-Baqarah [2]: 275).
Karena itulah Allah SWT dengan tegas mengharamkan riba, sebagaimana firman-Nya:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
"Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba" (TQS al-Baqarah [2]: 275).
Bahkan Rasulullah saw. menegaskan bahwa riba adalah dosa yang amat besar, sebagaimana sabdanya:
اَلرِّبَا ثَلاثَةٌ وَسَبْعُونَ بَابًا أَيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ اَلرَّجُلُ أُمَّهُ
"Riba itu terdiri dari 73 pintu. Pintu yang paling ringan adalah seperti seorang laki-laki menikah (berzina) dengan ibunya sendiri" (HR Ibnu Majah dan al-Hakim).
WalLâh a’lam bi ash-shawâb.
Sumber: Al-Islam