Dari Anas bin Malik, Rasulullah bersabda: “Sebaik-baik wanita surga adalah empat orang; Maryam binti ‘Imran, Khadijah binti Khuwalid, Fathimah binti Muhammad, dan Asiah binti Muzahim.” (Shahih Muslim, 2/243-Musnad Ahmad, 3/136)
Salah satunya adalah Asiah binti Muzahim. Pernah mendengarnya? Beliau adalah istri Raja Fir’aun—Raja zalim yang mengaku Tuhan, bersikap angkuh, sombong dan takabur.
Namun, beliau tidaklah sama dengan suaminya. Beliau adalah salah satu wanita hebat yang memegang teguh keimanan meski harus berhadapan dengan kekejian suaminya.
Kala itu ada sebuah ramalan akan lahirnya bayi laki-laki dari Bani Israil yang akan menjadi Nabi. Tentu saja, hal itu mengkhawatirkan Fir’aun. Lalu dengan dalih mencegah kerusakan negerinya, dia mulai membuat aturan untuk membunuh semua anak laki-laki yang baru lahir dan membiarkan hidup bagi anak perempuan.
Keputusan itu tentu sangat meresahkan penduduknya, terutama bagi para ibu-ibu.
Namun, siapa yang menyangka, ketika Fir’aun sibuk berusaha menolak kelahiran anak laki-laki, Asiah binti Muzahim, sang istri, malah tertarik dengan seorang anak yang ditemukan mengapung dalam sebuah peti di sungai.
Pertama kali melihat bayi itu, Asiah binti Muzahim langsung menyukainya. Beliau ingin merawat dan membesarkannya. Maka segera saja dia melaporkan kejadian itu pada suaminya. Dengan tegas, Fir’aun ingin membunuh anak itu. Bagaimana kalau dia adalah laki-laki yang dimaksud dalam ramalan sebagai sosok yang akan menghancurkan kekuasaanku?
Namun, dengan lemah lembut, Asiah binti Muzahim menjelaskan pada sang suami. Asiah berkata, “Barangkali anak ini kelak akan berguna bagi kita. Oleh karena itu, janganlah kanda bunuh anak ini. Boleh jadi, ia juga menjadi penyejuk mata kita berdua.”
Kalimat ini tercantum dalam TQS al-Qashash [28]: 9, “Dan berkatalah istri Fir’aun, ‘(Ia) adalah penyejuk mata hati bagiku dan bagimu. Janganlah kamu membunuhnya, Mudah-mudahan ia bermanfaat kepada kita atau kita ambil ia menjadi anak.'”
Pada akhirnya, Nabi Musa menjadi bagian dari keluarga Fir’aun. Kelembutan sikap Asiah binti Muzahim mampu melunakkan kekejaman suaminya itu. Sebagaimana diketahui, Firuan memang sangat menyayangi Asiah.
Namun rasa kasih sayang itu hilang ketika Fir’aun mengetahui bahwa Asiah lebih memilih mengikuti ajaran Nabi Musa, daripada mengakui dirinya sebagai Tuhan. Tentu saja Fir’aun marah dan kecewa. Dia tidak mau lagi bergaul dengan Asiah yang telah mengkhianatinya.
Fir’aun sudah memberi peringatan, namun Asiah tetap pada pendiriannya mengikuti ajaran Nabi Musa.
Tentang penyiksaan yang dilakukan pada Asiah, ada bermacam-macam keterangan yang didapatkan dari ahli-ahli tafsir.
“Dan Allah membuat istri Fir’aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman ketika ia berkata, ‘Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam firdaus, dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim.'”(TQS at-Tahrim [66]: 11)
Asiah binti Muzahim berharap, sekalipun istri seorang yang kafir, ia berharap agar dimasukkan Allah ke dalam jannah-Nya.
Dalam Tafsir Jalalain, dikatakan bahwa: "Istri Fir’aun beriman kepada Nabi Musa. Ia bernama Asiah. Lalu Fir’aun menyiksanya dengan cara mengikat kedua tangan dan kakinya. Di dadanya diletakkan kincir yang besar. Kemudian dihadapkan pada sinar matahari yang terik. Bilamana orang yang diperintahkan oleh Fir’aun untuk menjaganya pergi, maka malaikat menanunginya dari sengatan sinar matahari. Ketika Asiah meminta tolong pada Allah Ta’ala saat disiksa, Dia pun menampakkan rumahnya yang di surga hingga ia dapat melihatnya. Maka siksaan yang dialaminya terasa ringan baginya."
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb (Hazimah Nurul Wafiq)
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb (Hazimah Nurul Wafiq)