سَيِّدَاتُ نِسَاءِ أَهْلِ الْجَنَّةِ أَرْبَعٌ: مَرْيَمُ بِنْتُ عِمْرَانَ، وَفَاطِمَةُ بِنْتُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَخَدِيجَةُ بِنْتُ خُوَيْلِدٍ، وَآسِيَةُ
“Pemuka wanita ahli surga ada empat: Maryam binti Imran, Fatimah binti Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Khadijah binti Khuwailid, dan Asiyah.” (HR. Hakim 4853 dan dinilai ad-Dzahabi: shahih sesuai syarat Muslim).
Jika dikaitkan dengan Hadist di atas, Ana tidak menemukan nama Mutiah/Muti’ah. Apalagi nama ini mendapat predikat wanita pertama yang masuk surga. Dengan demikian, anggap saja kisah ini dapat menjadikan inspirasi untuk kita, selamat membaca!
Sahabatku,
Pada suatu hari Fatimah Azzahra ra, bertanya kepada Ayahnya, Rasulullah SAW. Siapakah wanita pertama yang masuk surga setelah Ummahatul Mukminin? Beliau bersabda: Dialah Muti'ah.
Berhari-hari Fatimah berkeliling kota Madinah untuk mencari tahu keberadaan Muti'ah dan di mana wanita yang dikatakan oleh Ayahnya itu tinggal. Setelah itu, Alhamdulillah informasi yang didapat yaitu keberadaan dan tempat tinggal Muti'ah berlokasi di pinggiran kota Madinah.
Atas ijin suaminya Ali bin Abi Thalib, maka Fatimah sambil mengajak Hasan untuk bersilaturahmi ke rumah Muti'ah pada pagi harinya. Sesampainya di rumah Muti'ah, maka Fatimah segera mengetuk pintu rumah Muti'ah dengan mengucapkan salam.
“Assalaamu’alaikum ya ahlil bait.”
Dari dalam rumah terdengar jawaban seorang wanita:
“Wa’alaikassalaam … siapakah diluar?”
“Saya Fatimah, putri Muhammad SAW"
“Alhamdulillah, hari ini rumahku dikunjungi putri Nabi junjungan alam semesta”
Segera Muti'ah membuka sedikit pintu rumahnya, dan ketika Muti'ah melihat Fatimah membawa putra laki-lakinya (Hasan) yang masih kecil (dalam riwayat masih berumur 5 tahun). Maka Muti'ah kembali menutup pintu rumahnya kembali, Fatimah merasa kaget dan bertanya kepada Muti'ah dari balik pintu.
“Ada apa gerangan wahai Muti'ah?
Kenapa engkau menutup kembali pintu rumahmu?
Apakah engkau tidak mengijinkan aku untuk mengunjungi dan bersilaturahim denganmu?”
Muti'ah dari balik pintu rumahnya menjawab: “Wahai putri Nabi, bukannya aku tidak mau menerimamu di rumahku. Akan tetapi keberadaanmu bersama dengan anak laki-lakimu Hasan, yang menurut ajaran Rasulullah tidak membolehkan seorang istri untuk memasukkan laki-laki ke rumahnya ketika suaminya tidak ada di rumah dan tanpa ijin suaminya. Walaupun anakmu Hasan masih kecil, tetapi aku belum meminta ijin kepada suamiku dan suamiku saat ini tidak berada dirumah. Kembalilah besok biar aku nanti meminta ijin terlebih dahulu kepada suamiku.”
Tersentaklah Fatimah mendengarkan kata-kata wanita mulia ini. Argumentasi Muti'ah memang benar seperti yang diajarkan ayahnya Rasulullah SAW. Akhirnya Fatimah pulang dengan hati yang bergejolak dan merencanakan akan kembali besoknya.
Pada hari berikutnya ketika Fatimah akan berangkat ke rumah Muti'ah, Husein, adik Hasan rewel tidak mau ditinggal dan merengek minta ikut ibunya. Hingga akhirnya Fatimah mengajak kedua putranya Hasan dan Husein. Dengan berpikir bahwa Muti'ah sudah meminta ijin kepada suaminya atas keberadaannya dengan membawa Hasan, sehingga kalau dia membawa Husein sekaligus maka hal itu sudah termasuk ijin yang diberikan kepada Hasan karena Husein berusia lebih kecil dan adik dari Hasan.
Namun ketika berada di depan rumah Muti'ah, maka kejadian pada hari pertama terulang kembali. Muti'ah mengatakan bahwa ijin yang diberikan oleh suaminya hanya untuk Hasan, akan tetapi untuk Husein, Muti'ah belum meminta ijin lagi pada suaminya.
Semakin galau hati Fatimah memikirkan begitu mulianya wanita ini menjunjung tinggi ajaran Rasulullah SAW. dan begitu tunduk dan tawaddu’ pada suaminya.
Pada hari yang ketiga, kembali Fatimah bersama kedua anaknya datang ke rumah Muti'ah pada sore hari. Namun kembali Fatimah mendapati kejadian yang mencengangkan, dia terkagum, Muti'ah didapati sedang berdandan sangat rapi dan menggunakan pakaian terbaik yang dipunyai dengan bau yang harum, sehingga Muti'ah terlihat sangat mempesona.
Dalam kondisi seperti itu, Muti'ah mengatakan kepada Fatimah bahwa suaminya sebentar lagi akan pulang kerja dan dia sedang bersiap-siap menyambutnya.
Subhanallah, Tidakkah kita merindukan istri yang demikian? Ketika suami pulang kerja, sang istri berusaha menyambutnya dengan kondisi sudah mandi, sudah berdandan, sudah memakai pakaian yang bagus, dan siap menyambut kedatangan suami di halaman rumah dengan senyuman terindah penuh kasih dan sayang? Ya Allah, jadikanlah istri-istri kami seperti Muti'ah!
Akhirnya Fatimah pulang dengan rasa kagum terhadapnya. Dan pada hari keempat, Fatimah datang kembali ke rumah Muti'ah lebih sore dan berharap bahwa suaminya sudah berada di rumah atau sudah pulang kerja. Dan Alhamdulillah memang pada saat Fatimah datang, suami Muti'ah baru saja sampai di rumah, pulang dari kerjanya.
Fatimah dan kedua anaknya Hasan dan Husein dipersilahkan masuk ke rumahnya. Fatimah melihat sebuah pemandangan yang jauh lebih mengesankan dibanding dengan yang dilihatnya sejak hari pertama. Muti'ah sudah menyiapkan baju ganti yang bersih untuk suaminya, sambil menuntun suaminya ke kamar mandi. Muti'ah terlihat mulai melepaskan baju suaminya, dan mereka berdua hilang masuk ke bilik kamar mandi. Dan yang dilakukan oleh Muti'ah adalah memandikan suaminya. Subhanallah… Tsumma Subhanallah.
Selesai memandikan suaminya, Fatimah menyaksikan Muti'ah menuntun suaminya menuju ke tempat makan. Dan suaminya sudah disiapkan makanan dan minuman yang dimasaknya. Sebelum memakan makanan yang sudah disiapkan, Muti'ah masuk ke kamar dengan membawa cambuk sepanjang dua meter dan diberikan kepada suaminya dengan mengatakan:
“Wahai suamiku, seharian aku telah membuat makanan dan minuman yang ada di depanmu. Sekiranya engkau tidak menyukai dan tidak berkenan atas masakanku, maka cambuklah diriku.”
Fatimah sudah sangat faham apa yang dikatakan oleh ayahnya Rasulullah SAW. tentang wanita ini. Fatimah pulang menangis haru dan bahagia karena sudah mendapatkan jawaban bagaimana istri yang shalihah, seperti yang ada pada diri Muti'ah.
*Mutiah/Muti'ah/Muthi’ah yang artinya taat, lembut, mudah.
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb (Hazimah Nurul Wafiq)