MONOGAMI dan poligami pembahasan hangat yang terus dikampanyekan bagi pelaku dan pendukungnya.
Dan saya berdiri di sini, memahami dan belajar alasan mereka mendukung poligami tersebut. Mulai dari yang paham agama, sampai yang tak tahu apa itu “agama”.
Mungkin ada yang sudah menonton film “Surga Yang Tak Dirindukan” yang diadaptasi dari novel Asma Nadia. Film berlatar belakang “poligami” tersebut cukup banyak disambut antusias penulis pendukung poligami.
Pertama, golongan pendukung monogami. Sebagai seorang wanita tentu saja cintanya tak mau terbagi, apalagi dijadikan alasan sebagai perintah agama. Karena suaminya ingin beristri lagi.
Dari segi keadilan saja, adakah keadilan itu bisa di tempatkan sesuai dengan tempatnya? Jika ada, manusia manakah yang mampu benar-benar adil sesuai ajaran agamanya (Islam). Jangan dijawab Nabi Muhammad SAW, tetapi umatnya yang mengikuti sunah beliau.
Ini adalah acuan yang selalu dipertentangkan bagi kaum pendukung monogomi. Dan saya pribadi, sulit sekali di akhir zaman ini menjumpai seorang pria bisa adil jika mempunyai istri lebih dari satu, apalagi dua, bahkan tiga.
Adil dari ekonomi (uang belanja), adil dalam kasih sayang, adil dalam kebutuhan biologis (seks) kepada setiap istri. Bisakah ketiga kebutuhan pokok itu dilakukan oleh suami yang berpoligami?
Mudah saja kita jawab: “Bisa adil. Kenapa nggak?” Terkadang adil itu hanya ada di pikiran kita, padahal bisa jadi kita keliru, menempatkan keadilan di tempat yang salah. Kita terlalu yakin apa yang sudah dilakukan itu adil, namun ada saja yang menganggap itu tak adil. Itu artinya ucapapan, tindakan “adil” saja berpihak.
Lalu, apakah memang ada keadilan yang sesungguhnya? Kebenaran dan keadilan hanya Milik Allah SWT.
Termasuk saya menuliskan artikel ini, apakah saya berlaku adil? Saya sendiri tidak yakin, walaupun dari hati nurani berusaha adil. Pasti ada saja setiap pembaca menilai ini tak adil.
Kedua, golongan pendukung poligami. Sebagai wanita yang sadar dirinya atas perintah agama (Islam) tentu paham poligami dibolehkan, dan dianjurkan jika sebab-sebabnya harus dipoligami.
Seorang wanita yang sholehah rela membagikan cinta suaminya kepada wanita lain. Karena ia sadar, jika seorang istri ikhlas diperistri lagi, insya Allah surga merindukannya.
Dan tentu saja, seorang pria yang soleh, suami yang baik tak akan pernah membagikan cintanya kepada wanita lain. Jika tidak ada sebab-sebab yang harus berpoligami, tidaklah mungkin ia mencari istri lagi.
Anak adalah impian bagi suami-istri. Buah hati yang selalu ditunggu-tunggu sejak pernikahan. Namun, terkadang harapan untuk mendapatkan “momongan” anak, kandas setelah seorang istri divonis tidak akan bisa mempunyai anak. Tentu saja sebab ini membolehkan suami berpoligami.
Kesehatan adalah harta yang paling berharga. Setuju ya atas pernyataan tersebut? Suami dan istri berharap selalu sehat mulai dari pernikahan sampai di masa tuanya. Saling mencintai dan menyayangi hingga waktu memisahkan mereka di tanah pusaran.
Bahtera rumah tangga terkadang tak sesuai harapan, istri sakit berkepanjangan, yang sulit untuk sembuh. Berkali-kali berusaha untuk berobat, namun tak kunjung juga sehat. Berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, penyakit merobohkannya. Hilang kecantikan, tubuh kurus digerogoti penyakit, tenaga sudah tak ada lagi, hanya mampu terbaring terkulai lemas di ranjang.
Sebab sakit istri yang berkepanjangan ini, tentu saja suami diperbolehkan berpoligami. Suami yang normal sangat merindukan kebutuhan biologisnya. Solusinya adalah poligami agar terhindar dari zina.
Dan jika suami berpoligami, ia dituntut harus berlaku adil dengan para istrinya. Sekalipun istri pertamanya tak mempunyai anak, atau sakit berkepanjangan. Wajib senantiasa menyayangi dan mencintai istri walaupun terkulai lemas akibat sakit yang dideritanya.
Semoga saja suami yang berpoligami itu bukan semata-mata untuk kepuasan nafsunya saja, tapi karena Lillahi Ta’ala. Karena di akhirat nanti ia akan mempertanggungjawabkan perilakunya sebagai seorang Imam dalam keluarganya.
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb (Hazimah Nurul Wafiq)
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb (Hazimah Nurul Wafiq)