Sesungguhnya, permasalahan ini berat. Perhatikan soalan 1 – 9.
Ada dua pendapat tentang menikahi wanita hamil diluar nikah, ada pendapat yang membolehkan, ada yang mengharamkannya. Adapun yang membolehkan tetap dengan aturan-aturan yang wajib dipahami.
Ini pendapat yang mengharamkan nikah saat wanita sedang hamil :
Perkahwinan seumpama ini, Hari ini memang tersangat biasa kerana keluarga biasanya memilih jalan untuk menutup malu. Bila dapat tahu anak “pregnant luar nikah”, cepat cepat dikahwinkan.
Berdasarkan kenyataan tersebut, nikah itu TIDAK SAH, maka pasangan itu kelak hidup dalam zina sampai bila-bila… Persoalan ini telah diajukan kepada seorang Imam, di mana banyak persoalan lain timbul dari persoalan pokok tersebut. Saya kongsikan bersama anda di sini kerana ianya amat penting:
Pasangan suami isteri dianggap berzina sepanjang perkahwinan mereka jika…
Soalan 1: Apakah langkah yang sewajarnya sekiranya seorang gadis belum berkahwin didapati hamil anak luar nikah?
Gadis itu tidak boleh berkahwin sehingga bayi itu dilahirkan.
Soalan 2 : Sekiranya lelaki yang bertanggungjawab itu bersedia mengahwini gadis itu, bolehkah mereka bernikah?
Tidak. Mereka tidak boleh bernikah sehingga bayi itu dilahirkan.
Soalan 3 : Adakah pernikahan itu sah sekiranya mereka berkawin?
Tidak. Pernikahan itu TIDAK SAH. Seorang lelaki tidak boleh mengahwini seorang wanita hamil, walaupun lelaki itu merupakan ayah kepada bayi yang dikandung itu.
Soalan 4 : Sekiranya mereka bernikah, apakah tindakan mereka untuk memperbetulkan keadaan?
Mereka mesti berpisah. Perempuan itu mestilah menunggu sehingga melahirkan, atau sehingga sah dia tidak mengandung, barulah mereka boleh bernikah sekali lagi,secara sah.
Soalan 5 : Bagaimana sekiranya keadaan itu tidak diperbetulkan?
Maka mereka akan hidup di dalam zina kerana pernikahan itu tidak sah.
Soalan 6 : Apakah hak seorang anak luar nikah?
Kebanyakan pendapat mengatakan bahawa anak itu TIADA HAK untuk menuntut apa-apa daripada ayahnya.
Soalan 7 : Sekiranya hukum mengatakan lelaki itu bukan ayah kepada anak tersebut, adakah itu bermakna dia bukan mahram kepada anak perempuannya sendiri?
Ya. Dia tidak boleh menjadi mahram.
Soalan 8 : Sekiranya seorang lelaki Muslim Dan seorang wanita Muslim (atau bukan Muslim) ingin bernikah setelah bersekedudukan, apakah tindakan yang sewajarnya?
Mereka mesti tinggal berasingan segera Dan menunggu sehingga perempuan itu haid satu kali sebelum mereka boleh bernikah.
Soalan 9 : Sekiranya saya kenal/tahu seseorang di dalam keadaan ini, apakah saya perlu memberitahu kepadanya, atau lebih baik menjaga tepi kain sendiri?
Anda wajib memberitahu, kerana itu sebahagian tanggungjawab anda sebagai saudaranya. Mereka harus diberi peluang untuk memperbetulkan keadaan mereka, kalau tidak semua keturunan yang lahir dari pernikahan tidak sah itu adalah anak-anak yang tidak sah taraf.
Kesimpulannya: Ibu bapa, saudaramara, org2 kampung, tok2 imam, tok2 kadi Dan saksi-saksi yang tahu akan keadaan tersebut tetapi mendiamkan, membiarkan atau membenarkan perkahwinan tersebut diteruskan maka mereka juga tidak terlepas daripada menanggung azab dan seksaan samada didunia atau pun diakhirat…
Tolong jangan abaikan text ini. Ini merupakan satu perkara yang serius. Jadi, fahami dan dalami betul-betul dan bincanglah dengan Imam/ustaz sekiranya perlu.
Mafhumnya: Katakanlah: ‘Sesungguhnya sembahyangku Dan ibadatku, hidupku Dan matiku, hanyalah untuk Allah Tuhan yang memelihara Dan mentadbirkan sekalian alam…
USTAZ ROSLI AL HAFIZ
Penjelasan Dalilnya Baca Di sini : Menikahi Wanita yang Hamil karena Zina ?
Pendapat Lain
Menikah Saat Hamil diluar nikah, Sahkah?
Wanita yang hamil karena perbuatan zina, adalah kasus yang marak terjadi di masyarakat. Para orang tua sering mengambil langkah untuk menikahkan putri mereka yang telanjur hamil. Tujuannya, untuk menutupi aib keluarga mereka.Sebenarnya, mayoritas para ulama membolehkan pernikahan wanita yang sedang hamil akibat perzinaan dengan laki-laki yang telah menghamilinya. Namun pendapat ulama yang lebih rajih (kuat) disyaratkan kepada kedua calon pengantin untuk bertobat dari dosa besar yang telah dilakukannya. Hal ini seperti diungkapkan dalam pendapat dari mazhab Imam Ahmad, Qatadah, Ishaq, dan Abu ‘Ubaid. Sedangkan ulama lain, seperti Imam Malik, Syafi’i, dan Abu Hanifah, tetap mengesahkan pernikahan tersebut walau kedua calon pengantin belum bertobat.
Imam Ahmad berdalil dengan ayat Alquran, "Laki-laki yang berzina tidak menikahi melainkan perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik. Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik. Dan telah diharamkan hal tersebut atas kaum mukminin." (QS an-Nur [24]: 3).
Ayat ini menjadi dalil haramnya wanita dan laki-laki yang berzina untuk menikah sampai mereka bertobat. Pernikahan yang merupakan mitsaqan ghalizha (ikatan kuat nan suci) hanya bisa mengikat sepasang insan yang beriman. Adapun orang musyrik (non-Islam) atau pezina maka tidaklah berlaku ikatan pernikahan bagi mereka.
Dalam beberapa riwayat, Rasulullah SAW melarang para sahabat menikah dengan wanita pezina. Seperti hadis ‘Amr bin Syu'aib, ia mengisahkan salah seorang sahabat bernama ‘Anaq ingin menikahi tawanan perempuan pezina. Rasulullah SAW diam, sampai surah an-Nur ayat 3 tersebut turun. Rasulullah SAW pun melarang ‘Anaq untuk menikahi wanita itu. (HR Abu Daud, Tirmizi, Nasa’i, dan Hakim).
Namun, jika sudah bertobat secara nasuha dari dosanya sebagai pezina, barulah ia bisa menikah atau dinikahkan. Para ulama berbeda pendapat dengan bentuk tobat tersebut. Jika di negara Islam, pezina wajib menjalani hudud (hukuman Allah SWT) yang akan dieksekusi oleh pemerintah. Hukuman bagi pezina yang masih lajang tersebut, yakni hukuman dera sebanyak 100 kali.
Namun, jika ia berada di negara sekuler yang tidak berhukum dengan hukum Islam, pezina perlu bersungguh-sungguh dalam tobatnya secara nasuha dengan memenuhi lima kriteria, yaitu tobat yang ikhlas karena Allah, menyesali perbuatan, meninggalkan dosa tersebut, berazam (bertekad) sungguh-sungguh tidak akan mengulanginya, dan memperbanyak amal ibadah sebagai ganti dari maksiat yang telah dilakukannya.
Setelah tobat, barulah wanita yang hamil karena perzinaan ini bisa dinikahkan dengan laki-laki yang telah menghamilinya. Hal itu juga disahkan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) Pasal 2 Ayat (1). Dalam Pasal 53 Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga disebutkan, seorang wanita hamil di luar nikah dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Perkawinan dengan wanita hamil tersebut dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya. Dengan dilangsungkannya perkawinan saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Mayoritas ulama dari Imam Syafi’i dan Abu Hanifah berpendapat, tidak ada iddah bagi wanita yang hamil di luar nikah untuk melangsungkan pernikahan. Artinya, wanita yang hamil di luar nikah dapat dinikahkan sesegeranya tanpa harus menunggu kelahiran anaknya.
Lantas, bagaimanakah hukumnya jika wanita yang hamil di luar nikah dinikahkan dengan laki-laki yang tidak menghamilinya? Mayoritas ulama baik salaf maupun khalaf pun memperbolehkan hal ini.
Namun terkait hal ini, mazhab Abu Hanifah menegaskan, memang boleh hukumnya menikahi wanita yang tengah hamil di luar nikah, namun belum boleh berjima’ dengannya. Kebolehan berjima’ hanya dibolehkan jika laki-laki yang menikahi merupakan orang yang menghamilinya. Adapun jika si suami bukanlah orang yang menghamilinya maka mereka harus menunggu sampai masa istibro’ (rahim telah kosong dari janin dan telah haid minimal sekali).
Hal ini berdalil dari hadis Abu Sa’id Al-Khudri RA tentang sabda Rasulullah SAW tentang tawanan wanita di Perang Authos. "Jangan dipergauli perempuan hamil sampai ia melahirkan dan jangan (pula) yang tidak hamil sampai ia telah haid satu kali." (HR Ahmad).
Islam sangat menjaga nasab dan keturunan. Tidak boleh ada dua jenis sperma dalam rahim seorang wanita. Hal ini juga menjadi cikal bakal penyakit mematikan, seperti HIV dan AIDS. Hadis dari Ruwaifi’ bin Tsabit RA menyebutkan, "Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat maka jangan ia menyiramkan air (mani)nya ke ‘tanaman’ orang lain." (HR Ahmad, Abu, Tirmidzi, dan Al-Baihaqi).
Hukum ini memperlihatkan bagaimana indahnya Islam dalam menjaga nasab dan keturunan. Demikian pula, indahnya akhlak Islam dalam menjaga kehormatan dan kasih sayang sesama manusia. Bayangkan saja, jika wanita yang tengah hamil karena perzinaan harus menanggung sendiri beban kehamilannya sampai melahirkan. Sedangkan, laki-laki yang menghamilinya dengan enteng bisa pergi begitu saja.
Wallahu’alam. n ed: hafidz muftisany (rol)
Silakan Copy Artikel yang ada di sini, tapi cantumkan sumbernya http://akhwatmuslimahindonesia.blogspot.com/